Jumat, 16 Juli 2010

Mencari Sukses Pendidikan

“Duh susahnya jadi pendidik di zaman ini. Guru mengeluh, orangtua mengeluh, gimana muridnya?”

Inilah realita kita sehari-hari. Tempo hari, berita repotnya UAN sudah jadi headline yang menggemaskan. Depdiknas repot, sekolah-sekolah repot, terakhir Detasemen 88 ikut repot. Yang penulis maksudkan sebagai repot di sini, benar-benar repot, kalau tidak bisa dikatakan nyaris bingung dan membingungkan orang lain.

Ada sejumlah orangtua ikut-ikutan stress karena anak mereka stress. “Abis gimana tokh Jeng, soal UAN itu ‘kan yang bikin bukan guru sekolahnya, tapi langsung dari Diknas, bisa aja nggak sesuai dengan yang sudah dipelajari anak kita?!”. “Gimana ya, kalau anak saya gak lulus gara-gara salah cara jawab?”. “Aku ngeri deh, ada anak sekolah sini, tahun lalu, gak lulus gara-gara 1 mata pelajaran jeblok, padahal mata pelajaran yang lain dia bagus, di atas rata-rata.” “Gimana kalau nilai UANnya jeblok sampai gak keterima di sekolah negeri?”

Sebentar lagi UAN akan menjadi headline media lagi. Setelah jeda dengan kehebohan naiknya harga BBM dan kemudian kasus “insiden Monas 1 Juni” yang pekan ini jadi primadona berita.

Sukses. Sukses zaman ini artinya: punya pendidikan tinggi, gaji besar, pekerjaan bergengsi. Semua nilai mata nominal (angka). Untuk sampai ke sana, anak sekarang harus berjuang menghadapi stress pendidikan sejak bangku sekolah dasar kelas satu, sampai 18 tahun atau lebih setelah itu, tergantung apakah ia sempat tinggal kelas atau tidak, atau apakah ia mau melanjutkan stressnya ke jenjang yang lebih tinggi atau tidak.
Untuk mengejar itu semua, anak-anak kita harus terus menerus ingat pelajaran sejak bangun tidur sampai tidur lagi. Kadang-kadang terbawa mimpi. Matematika, Geografi, Biologi, Kimia, Bahasa Inggris, dst, dst…itu igauan anak-anak kita setiap menjelang akhir tahun ajaran. Seberapa jauh itu bermanfaat untuk mereka?

Belum lama ini seseorang mencoba menguji nalar anaknya dengan mengajak membuat maket rumah. Anak yang sudah lulus SMA bersama adiknya yang masih SMA di tanya bagaimana membuat maket atap? Jawaban mereka: “Susah lah, gimana ngitungnya?”. ”Ya tapi gimana rumusnya? Gak bisa lah.” Sebagai upaya terakhir sang ayah memberikan kata kunci ‘Pytagoras’. Barulah kedua anak itu mulai mengerti: “Ooo iya, bisa, kalau pake rumus Pytagoras di bidang bantu”, Komentar si kakak: “Oooh itu tokh gunanya Pytagoras!”

Tragis. Rumus dihafal bagai mantra tanpa guna, sebaliknya giliran harus mengaplikasikan malah kebingungan.

Itu contoh kecil betapa nalar anak-anak kita sudah sangat tertekan oleh beban jutaan soal mati yang harus dihafal di luar kepala sehingga pada saat nalar seharusnya berjalan mengisi proses kreatif ternyata nalarnya sudah “heng”.

Jurus ‘shortcut’ pendidikan dengan cara menghafal soal diperkuat lagi dengan fenomena baru ini: Pesantren Bimbel (Bimbingan Belajar). Hebatnya, pesantren kilat yang digelar bimbel-bimbel kelas nasional ini hanya berlangsung beberapa pekan sebagaimana pesantren kilat, namun harganya……ck…ck…ck…..seharga motor baru bukan mocin. Terbilang (menurut harian Republika Ahad 25 Mei) antara 12 juta-an sampai 22 juta-an rupiah. Fantastis! Itu baru Bimbelnya, belum uang masuknya ke perguruan tinggi.

Seorang dosen kepala jurusan di sebuah perguruan tinggi utama di negeri ini ikut komentar terhadap fenomena ini: “Memang pola pendidikan di sekolah-sekolah kita patut sangat disayangkan. Terbukti kita-kita sebagai dosen mengalami sendiri bagaimana susahnya mengajak mahasiswa kita untuk sampai kepada nalar yang kita inginkan. Masa’ iya sudah kuliah masih terpikir nyontek, sampai ke skripsi, inginnya plagiat!”

Begitulah, ketika apa yang cuma asesoris dianggap sebagai tujuan. Ketika gelar yang sebenarnya hanya cap untuk mengenali seberapa tingkat pendidikan seseorang justru dijadikan sebagai tujuan pendidikan. Walhasil kita sebagai bangsa dan ummat tak akan berhasil mencetak manusia berpendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri. Tapi yang kita cetak hanyalah sejumlah manusia bergelar yang belum tentu punya nalar.

Di lapangan, berderet-deret antrian sarjana pencari kerja, sementara yang dicari oleh penyedia lapangan kerja adalah manusia-manusia kreatif yang mampu mengangkat performa perusahaan di tengah kemelut susahnya ekonomi. Alasan penolakan perusahaan selalu sama “belum ada pengalaman kerja”. Artinya sarjana yang lulus belum dianggap lulus oleh pihak yang akan memakai jasa mereka.

Debat seputar ini akan tak ada habisnya jika tak langsung ke akar masalah.
Pendidikan seharusnya mengacu kepada kesuksesan anak didik menjadi orang yang berguna.

Kata Nabi SAW: “Khoirukum, an fa’ul linnas”. Sebaik-baik kalian adalah yang paling bermanfaat. Kualitas sebagai orang bermanfaat inilah yang seharusnya dijadikan tolok ukur keberhasilan, bukannya sederet angka dan rangking. Bahkan bagi ummat Islam sudah ada konsep “” yaitu pahala. Kebaikan dan manfaat dalam Islam dengan mudah dinilai dari pahala yang dijanjikan Allah SWT.

Apa keuntungannya jika kita mau memakai tolok ukur manfaat ini? Ada banyak.

  1. Anak didik akan terdorong untuk menjadi orang yang berguna buat orang lain, yang berarti Insya Allah akan jauh dari sifat egois.
  2. Untuk menjadi orang yang bermanfat, seseorang perlu mengeksplorasi dirinya dan mencari apa kelebihan dirinya dan tidak fokus pada kekurangan dirinya. Artinya ia akan punya kepribadian kuat. Seorang yang selalu mengasihani dirinya dan berkepribadian lemah tak sanggup berpikir untuk menjadi berguna bagi orang lain.
  3. Untuk menjadi orang bermanfaat, seseorang akan melalui proses inisiatif dan kreatif. Artinya kita akan kebanjiran pribadi-pribadi yang penuh inisiatif dan siap menjadi pemimpin sambil tetap mempunyai semangat kreatifitas karena ingin orisinal.
  4. Itu juga Insya Allah akan membuat bangsa ini dibanjiri para inventor karena ingin menjadi orang-orang yang banyak pahala jariyahnya dengan menemukan hal-hal baru yang akan mendapat pahala terus menerus selama penemuannya masih digunakan orang di muka bumi.

Mungkin masih banyak yang perlu dibicarakan. Insya Allah masih ada umur untuk menyambungnya. Tetapi setidaknya, bukankah memang sudah saatnya kita memikirkan kembali berbagai paradigma yang saat ini dianut oleh dunia pendidikan kita.

SUKSES, semua kita yang beragama Islam mestinya faham apa kriteria sukses dalam Islam. Sayangnya pembahasan tentang ini biasanya hanya dijumpai di mimbar-mimbar khutbah Jum’at atau di podium ceramah agama.

Sepertinya orang sekarang enggan membawa label agama untuk hal-hal lain selain dari masalah ke-agama-an yang sempit yaitu ibadah ritual. Takut dibilang primordial atau apalah tudingan lain. So, jangan harap topik sukses dari kacamata Islam akan mau di-seminar nasionalkan di negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini.

Sukses dalam paradigma Islam sudah sangat tegas dan jelas dalam QS Ali Imran ayat 185. Istilah faqod faaz dalam terjemahan Al-Qur’an berbahasa Inggris terbitan King Fahad Complex, Madinah, Saudi Arabia, adalah ”he indeed is successful.”

Dalam beberapa terjemahan Al-Qur’an lain di artikan sebagai: sungguh-sungguh beruntung. Sedangkan dalam Al-Qur’an Surah Al-Ahzab ayat 71, istilah faqod faaz juga digunakan untuk menunjuk pada kemenangan (faqod faaza fauzan azhima = sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar).

Intinya, kesuksesan atau keberuntungan atau kemenangan dalam paradigma Islami, harus di kaitkan dengan akhirat. Tak ada menang atau sukses jika hasil akhir di akhirat tidak beruntung.

Kembali kepada kriteria sukses pendidikan, apakah kita sudah siap untuk mengacu kepada kriteria ini ketika kita mendidik anak atau mengarahkan anak kita dalam memilih jurusan dalam jenjang pendidikannya?

Hari-hari ini sebagian anak-anak kita sedang akan bertarung untuk ujian masuk perguruan tinggi. Sebagian lagi sudah cukup beruntung karena diterima dalam program penerimaan mahasiswa secara langsung karena prestasi selama di sma. Sudahkah kita mengingatkan anak-anak kita untuk memilih jurusan dan universitas dengan cermat sesuai dengan cita-cita yang ”jauh” yaitu cita-cita sesudah mati?

Atau jangan-jangan sebagian kita mengarahkan anak-anak kita dengan pertimbangan ini ”jurusan gemuk” atau ”bergengsi” semata? Konon indeks sulitnya persaingan setiap jurusan tidak terkait sulit atau mudahnya jurusan tersebut tapi lebih karena asumsi-asumsi ”gemuk” dan ”gengsi” tadi.

Lantas nanti, jika ternyata anak kita tidak diterima atau terpental dari persaingan bangku tadi, akankah kita menganggap ia ”gagal” atau tidak sukses? Akankah anak kita sendiri kemudian merasa dirinya bodoh dan tidak berguna? Pernah di Jepang, ada anak usia SD bunuh diri karena tak diterima masuk sekolah dasar bergengsi di negeri itu. Di negeri yang menganggap bunuh diri sebagai perbuatan mulia, tetap saja kita mendengarnya menjadi prihatin.

Mengingat tulisan bagian pertama pekan lalu, ada kriteria penilaian yang praktis diterapkan di dunia ini, sebelum ke akhirat. Yaitu konsep ”berguna”. Jika kita menitipkan pesan motivasi ”agar engkau kelak menjadi orang yang berguna bagi agama dan bangsa”, maka mungkin jika ada kegagalan-kegagalan kecil yang ditemuinya maka kita masih bisa mencarikan formulasi lain agar berguna.

Pendidikan tinggi itu mahal dan lama, juga sulit persaingannya. Padahal jika sejak awal konsep ”berguna” sudah dipegang, maka anak-anak kita tak perlu terkendala dengan harus lulus pendidikan tinggi lebih dahulu sebelum diakui masyarakat sebagai anak sukses dan dihargai. Sebaliknya, para pemuda kita yang sudah lulus perguruan tinggipun tak perlu pusing harus punya kerja formal dulu sebelum berkarya dan berprestasi. Cari pekerjaan formal sekarang ini sulit dan (herannya) juga mahal. Untuk mendapatkan perkerjaan formal, malah harus bayar? Itulah keajaiban negeri ini. Padahal sektor nonformal sangat luas dan sangat membutuhkan tenaga muda dan kreatif untuk malah membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain.

Pasti akan sangat menarik jika para pakar pendidikan, ahli psikologi, para dosen, para guru dan konseptor pendidikan sama-sama duduk membicarakan masalah-masalah ini dengan para kyai dan Ulama mumpuni. Bahkan perlu ditambah oleh para kolumnis di media massa yang biasa mengamati gejala sosial.

Akhir-akhir ini sudah ada geliat menarik, yaitu semakin seringnya ada lomba kreatifitas ilmiah remaja. Ini sebenarnya langkah strategis, yaitu mengasah otak muda agar lebih bersinar kreatif sejak awal. Di dunia pendidikan tinggi kita, penelitian belum tampak semarak. Memang sudah semakin banyak profesor sekarang ini, tapi apa penghargaan masyarkat, bangsa dan negara atas keberhasilan-keberhasilan mereka? Mengapa berita keberhasilan penelitian mereka tidak masuk headline media? Mengapa headline media hanya diisi kasus kekerasan dan tawuran antar kelompok masyarakat? Motto ”bad news is good news” tampaknya terlalu menguasai pandangan para jurnalis kita.


Pernah penulis menghadiri sebuah pengukuhan gurubesar dan menjadi sangat terinspirasi akan betapa banyaknya harapan yang seharusnya dimiliki oleh negeri ini. Salah seorang guru besar yang dikukuhkan waktu itu memaparkan prospek kelanjutan hasil penelitiannya di bidang rekayasa biomedis. Sambil penuh harapan, sambil penulis khawatir jika negara tidak cepat tanggap menangkap ide-ide cemerlang ini maka niscaya pundi-pundi asing akan segera meng-iming-iming sang penemu.

Memang nasib para ”orang pintar” (para guru, dosen, doktor dan profesor) di negeri ini termasuk kurang beruntung. Dengan pahala jariyah mereka yang besar (Insya Allah), imbalan negara amat kecil. Jangan heran dengan gejala ”brain drain”, yaitu perginya mereka ke negeri-negeri makmur untuk mendapatkan penghidupan dan penghargaan yang lebih baik. Di NASA, Amerika, ada banyak orang Indonesia, belum lagi di seantero negeri Paman Sam tersebut. Khususnya yang bekerja sebagai tenaga ahli. Juga di negara-negara Eropa.

Kita di negeri ini mungkin belum sanggup merogoh kocek lebih dalam lagi untuk membayar mereka lebih tinggi, maklum, kocek kita sudah bolong alias tekor terus. Tapi bukankah ada banyak bentuk apresiasi lain yang masih bisa kita berikan kepada mereka? Para pendidik seharusnya mendapat perhatian khusus karena di tangan mereka-lah masa depan bangsa ini kita percayakan. Jelas mereka (jika Ikhlas) sudah mendapatkan ”ajr” atau imbalan yang cukup dari Allah SWT, tetapi mana yang dari kita?

Kita bisa mulai dengan mengajarkan kepada anak kita sendiri untuk mengejar target menjadi orang berguna seperti mereka, dan bagi kita sebagai masyarakat, mulailah memberi perhatian terhadap kreatifitas yang tumbuh di kalangan dunia pendidikan. Jadikanlah motivasi agar menjadi orang berguna dan beruntung sampai ke akhirat sebagai nasehat kita kepada anak. Ingat, hidup kita di sana lebih panjang.

Dari lubuk hati yang paling dalam, penulis mengucapkan terimakasih dan semoga suskses sampai ke akhirat bagi para guru, para dosen, doktor dan profesor. Ucapan ini seiring dengan keberhasilan para murid anda menyelesaikan jenjang pendidikan mereka di bulan-bulan ini.

Walahua’alam.

era muslim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar