Jumat, 16 Juli 2010

Mencari Sukses Pendidikan

“Duh susahnya jadi pendidik di zaman ini. Guru mengeluh, orangtua mengeluh, gimana muridnya?”

Inilah realita kita sehari-hari. Tempo hari, berita repotnya UAN sudah jadi headline yang menggemaskan. Depdiknas repot, sekolah-sekolah repot, terakhir Detasemen 88 ikut repot. Yang penulis maksudkan sebagai repot di sini, benar-benar repot, kalau tidak bisa dikatakan nyaris bingung dan membingungkan orang lain.

Ada sejumlah orangtua ikut-ikutan stress karena anak mereka stress. “Abis gimana tokh Jeng, soal UAN itu ‘kan yang bikin bukan guru sekolahnya, tapi langsung dari Diknas, bisa aja nggak sesuai dengan yang sudah dipelajari anak kita?!”. “Gimana ya, kalau anak saya gak lulus gara-gara salah cara jawab?”. “Aku ngeri deh, ada anak sekolah sini, tahun lalu, gak lulus gara-gara 1 mata pelajaran jeblok, padahal mata pelajaran yang lain dia bagus, di atas rata-rata.” “Gimana kalau nilai UANnya jeblok sampai gak keterima di sekolah negeri?”

Sebentar lagi UAN akan menjadi headline media lagi. Setelah jeda dengan kehebohan naiknya harga BBM dan kemudian kasus “insiden Monas 1 Juni” yang pekan ini jadi primadona berita.

Sukses. Sukses zaman ini artinya: punya pendidikan tinggi, gaji besar, pekerjaan bergengsi. Semua nilai mata nominal (angka). Untuk sampai ke sana, anak sekarang harus berjuang menghadapi stress pendidikan sejak bangku sekolah dasar kelas satu, sampai 18 tahun atau lebih setelah itu, tergantung apakah ia sempat tinggal kelas atau tidak, atau apakah ia mau melanjutkan stressnya ke jenjang yang lebih tinggi atau tidak.
Untuk mengejar itu semua, anak-anak kita harus terus menerus ingat pelajaran sejak bangun tidur sampai tidur lagi. Kadang-kadang terbawa mimpi. Matematika, Geografi, Biologi, Kimia, Bahasa Inggris, dst, dst…itu igauan anak-anak kita setiap menjelang akhir tahun ajaran. Seberapa jauh itu bermanfaat untuk mereka?

Belum lama ini seseorang mencoba menguji nalar anaknya dengan mengajak membuat maket rumah. Anak yang sudah lulus SMA bersama adiknya yang masih SMA di tanya bagaimana membuat maket atap? Jawaban mereka: “Susah lah, gimana ngitungnya?”. ”Ya tapi gimana rumusnya? Gak bisa lah.” Sebagai upaya terakhir sang ayah memberikan kata kunci ‘Pytagoras’. Barulah kedua anak itu mulai mengerti: “Ooo iya, bisa, kalau pake rumus Pytagoras di bidang bantu”, Komentar si kakak: “Oooh itu tokh gunanya Pytagoras!”

Tragis. Rumus dihafal bagai mantra tanpa guna, sebaliknya giliran harus mengaplikasikan malah kebingungan.

Itu contoh kecil betapa nalar anak-anak kita sudah sangat tertekan oleh beban jutaan soal mati yang harus dihafal di luar kepala sehingga pada saat nalar seharusnya berjalan mengisi proses kreatif ternyata nalarnya sudah “heng”.

Jurus ‘shortcut’ pendidikan dengan cara menghafal soal diperkuat lagi dengan fenomena baru ini: Pesantren Bimbel (Bimbingan Belajar). Hebatnya, pesantren kilat yang digelar bimbel-bimbel kelas nasional ini hanya berlangsung beberapa pekan sebagaimana pesantren kilat, namun harganya……ck…ck…ck…..seharga motor baru bukan mocin. Terbilang (menurut harian Republika Ahad 25 Mei) antara 12 juta-an sampai 22 juta-an rupiah. Fantastis! Itu baru Bimbelnya, belum uang masuknya ke perguruan tinggi.

Seorang dosen kepala jurusan di sebuah perguruan tinggi utama di negeri ini ikut komentar terhadap fenomena ini: “Memang pola pendidikan di sekolah-sekolah kita patut sangat disayangkan. Terbukti kita-kita sebagai dosen mengalami sendiri bagaimana susahnya mengajak mahasiswa kita untuk sampai kepada nalar yang kita inginkan. Masa’ iya sudah kuliah masih terpikir nyontek, sampai ke skripsi, inginnya plagiat!”

Begitulah, ketika apa yang cuma asesoris dianggap sebagai tujuan. Ketika gelar yang sebenarnya hanya cap untuk mengenali seberapa tingkat pendidikan seseorang justru dijadikan sebagai tujuan pendidikan. Walhasil kita sebagai bangsa dan ummat tak akan berhasil mencetak manusia berpendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri. Tapi yang kita cetak hanyalah sejumlah manusia bergelar yang belum tentu punya nalar.

Di lapangan, berderet-deret antrian sarjana pencari kerja, sementara yang dicari oleh penyedia lapangan kerja adalah manusia-manusia kreatif yang mampu mengangkat performa perusahaan di tengah kemelut susahnya ekonomi. Alasan penolakan perusahaan selalu sama “belum ada pengalaman kerja”. Artinya sarjana yang lulus belum dianggap lulus oleh pihak yang akan memakai jasa mereka.

Debat seputar ini akan tak ada habisnya jika tak langsung ke akar masalah.
Pendidikan seharusnya mengacu kepada kesuksesan anak didik menjadi orang yang berguna.

Kata Nabi SAW: “Khoirukum, an fa’ul linnas”. Sebaik-baik kalian adalah yang paling bermanfaat. Kualitas sebagai orang bermanfaat inilah yang seharusnya dijadikan tolok ukur keberhasilan, bukannya sederet angka dan rangking. Bahkan bagi ummat Islam sudah ada konsep “” yaitu pahala. Kebaikan dan manfaat dalam Islam dengan mudah dinilai dari pahala yang dijanjikan Allah SWT.

Apa keuntungannya jika kita mau memakai tolok ukur manfaat ini? Ada banyak.

  1. Anak didik akan terdorong untuk menjadi orang yang berguna buat orang lain, yang berarti Insya Allah akan jauh dari sifat egois.
  2. Untuk menjadi orang yang bermanfat, seseorang perlu mengeksplorasi dirinya dan mencari apa kelebihan dirinya dan tidak fokus pada kekurangan dirinya. Artinya ia akan punya kepribadian kuat. Seorang yang selalu mengasihani dirinya dan berkepribadian lemah tak sanggup berpikir untuk menjadi berguna bagi orang lain.
  3. Untuk menjadi orang bermanfaat, seseorang akan melalui proses inisiatif dan kreatif. Artinya kita akan kebanjiran pribadi-pribadi yang penuh inisiatif dan siap menjadi pemimpin sambil tetap mempunyai semangat kreatifitas karena ingin orisinal.
  4. Itu juga Insya Allah akan membuat bangsa ini dibanjiri para inventor karena ingin menjadi orang-orang yang banyak pahala jariyahnya dengan menemukan hal-hal baru yang akan mendapat pahala terus menerus selama penemuannya masih digunakan orang di muka bumi.

Mungkin masih banyak yang perlu dibicarakan. Insya Allah masih ada umur untuk menyambungnya. Tetapi setidaknya, bukankah memang sudah saatnya kita memikirkan kembali berbagai paradigma yang saat ini dianut oleh dunia pendidikan kita.

SUKSES, semua kita yang beragama Islam mestinya faham apa kriteria sukses dalam Islam. Sayangnya pembahasan tentang ini biasanya hanya dijumpai di mimbar-mimbar khutbah Jum’at atau di podium ceramah agama.

Sepertinya orang sekarang enggan membawa label agama untuk hal-hal lain selain dari masalah ke-agama-an yang sempit yaitu ibadah ritual. Takut dibilang primordial atau apalah tudingan lain. So, jangan harap topik sukses dari kacamata Islam akan mau di-seminar nasionalkan di negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini.

Sukses dalam paradigma Islam sudah sangat tegas dan jelas dalam QS Ali Imran ayat 185. Istilah faqod faaz dalam terjemahan Al-Qur’an berbahasa Inggris terbitan King Fahad Complex, Madinah, Saudi Arabia, adalah ”he indeed is successful.”

Dalam beberapa terjemahan Al-Qur’an lain di artikan sebagai: sungguh-sungguh beruntung. Sedangkan dalam Al-Qur’an Surah Al-Ahzab ayat 71, istilah faqod faaz juga digunakan untuk menunjuk pada kemenangan (faqod faaza fauzan azhima = sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar).

Intinya, kesuksesan atau keberuntungan atau kemenangan dalam paradigma Islami, harus di kaitkan dengan akhirat. Tak ada menang atau sukses jika hasil akhir di akhirat tidak beruntung.

Kembali kepada kriteria sukses pendidikan, apakah kita sudah siap untuk mengacu kepada kriteria ini ketika kita mendidik anak atau mengarahkan anak kita dalam memilih jurusan dalam jenjang pendidikannya?

Hari-hari ini sebagian anak-anak kita sedang akan bertarung untuk ujian masuk perguruan tinggi. Sebagian lagi sudah cukup beruntung karena diterima dalam program penerimaan mahasiswa secara langsung karena prestasi selama di sma. Sudahkah kita mengingatkan anak-anak kita untuk memilih jurusan dan universitas dengan cermat sesuai dengan cita-cita yang ”jauh” yaitu cita-cita sesudah mati?

Atau jangan-jangan sebagian kita mengarahkan anak-anak kita dengan pertimbangan ini ”jurusan gemuk” atau ”bergengsi” semata? Konon indeks sulitnya persaingan setiap jurusan tidak terkait sulit atau mudahnya jurusan tersebut tapi lebih karena asumsi-asumsi ”gemuk” dan ”gengsi” tadi.

Lantas nanti, jika ternyata anak kita tidak diterima atau terpental dari persaingan bangku tadi, akankah kita menganggap ia ”gagal” atau tidak sukses? Akankah anak kita sendiri kemudian merasa dirinya bodoh dan tidak berguna? Pernah di Jepang, ada anak usia SD bunuh diri karena tak diterima masuk sekolah dasar bergengsi di negeri itu. Di negeri yang menganggap bunuh diri sebagai perbuatan mulia, tetap saja kita mendengarnya menjadi prihatin.

Mengingat tulisan bagian pertama pekan lalu, ada kriteria penilaian yang praktis diterapkan di dunia ini, sebelum ke akhirat. Yaitu konsep ”berguna”. Jika kita menitipkan pesan motivasi ”agar engkau kelak menjadi orang yang berguna bagi agama dan bangsa”, maka mungkin jika ada kegagalan-kegagalan kecil yang ditemuinya maka kita masih bisa mencarikan formulasi lain agar berguna.

Pendidikan tinggi itu mahal dan lama, juga sulit persaingannya. Padahal jika sejak awal konsep ”berguna” sudah dipegang, maka anak-anak kita tak perlu terkendala dengan harus lulus pendidikan tinggi lebih dahulu sebelum diakui masyarakat sebagai anak sukses dan dihargai. Sebaliknya, para pemuda kita yang sudah lulus perguruan tinggipun tak perlu pusing harus punya kerja formal dulu sebelum berkarya dan berprestasi. Cari pekerjaan formal sekarang ini sulit dan (herannya) juga mahal. Untuk mendapatkan perkerjaan formal, malah harus bayar? Itulah keajaiban negeri ini. Padahal sektor nonformal sangat luas dan sangat membutuhkan tenaga muda dan kreatif untuk malah membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain.

Pasti akan sangat menarik jika para pakar pendidikan, ahli psikologi, para dosen, para guru dan konseptor pendidikan sama-sama duduk membicarakan masalah-masalah ini dengan para kyai dan Ulama mumpuni. Bahkan perlu ditambah oleh para kolumnis di media massa yang biasa mengamati gejala sosial.

Akhir-akhir ini sudah ada geliat menarik, yaitu semakin seringnya ada lomba kreatifitas ilmiah remaja. Ini sebenarnya langkah strategis, yaitu mengasah otak muda agar lebih bersinar kreatif sejak awal. Di dunia pendidikan tinggi kita, penelitian belum tampak semarak. Memang sudah semakin banyak profesor sekarang ini, tapi apa penghargaan masyarkat, bangsa dan negara atas keberhasilan-keberhasilan mereka? Mengapa berita keberhasilan penelitian mereka tidak masuk headline media? Mengapa headline media hanya diisi kasus kekerasan dan tawuran antar kelompok masyarakat? Motto ”bad news is good news” tampaknya terlalu menguasai pandangan para jurnalis kita.


Pernah penulis menghadiri sebuah pengukuhan gurubesar dan menjadi sangat terinspirasi akan betapa banyaknya harapan yang seharusnya dimiliki oleh negeri ini. Salah seorang guru besar yang dikukuhkan waktu itu memaparkan prospek kelanjutan hasil penelitiannya di bidang rekayasa biomedis. Sambil penuh harapan, sambil penulis khawatir jika negara tidak cepat tanggap menangkap ide-ide cemerlang ini maka niscaya pundi-pundi asing akan segera meng-iming-iming sang penemu.

Memang nasib para ”orang pintar” (para guru, dosen, doktor dan profesor) di negeri ini termasuk kurang beruntung. Dengan pahala jariyah mereka yang besar (Insya Allah), imbalan negara amat kecil. Jangan heran dengan gejala ”brain drain”, yaitu perginya mereka ke negeri-negeri makmur untuk mendapatkan penghidupan dan penghargaan yang lebih baik. Di NASA, Amerika, ada banyak orang Indonesia, belum lagi di seantero negeri Paman Sam tersebut. Khususnya yang bekerja sebagai tenaga ahli. Juga di negara-negara Eropa.

Kita di negeri ini mungkin belum sanggup merogoh kocek lebih dalam lagi untuk membayar mereka lebih tinggi, maklum, kocek kita sudah bolong alias tekor terus. Tapi bukankah ada banyak bentuk apresiasi lain yang masih bisa kita berikan kepada mereka? Para pendidik seharusnya mendapat perhatian khusus karena di tangan mereka-lah masa depan bangsa ini kita percayakan. Jelas mereka (jika Ikhlas) sudah mendapatkan ”ajr” atau imbalan yang cukup dari Allah SWT, tetapi mana yang dari kita?

Kita bisa mulai dengan mengajarkan kepada anak kita sendiri untuk mengejar target menjadi orang berguna seperti mereka, dan bagi kita sebagai masyarakat, mulailah memberi perhatian terhadap kreatifitas yang tumbuh di kalangan dunia pendidikan. Jadikanlah motivasi agar menjadi orang berguna dan beruntung sampai ke akhirat sebagai nasehat kita kepada anak. Ingat, hidup kita di sana lebih panjang.

Dari lubuk hati yang paling dalam, penulis mengucapkan terimakasih dan semoga suskses sampai ke akhirat bagi para guru, para dosen, doktor dan profesor. Ucapan ini seiring dengan keberhasilan para murid anda menyelesaikan jenjang pendidikan mereka di bulan-bulan ini.

Walahua’alam.

era muslim

Lima Poin Pendidikan Anak Dalam Islam

Bunda, apakah ilmumu hari ini? Sudahkah kau siapkan dirimu untuk masa depan anak-anakmu? Bunda, apakah kau sudah menyediakan tahta untuk tempat kembali anakmu? Di negeri yang Sebenarnya. Di Negeri Abadi? Bunda, mari kita mengukir masa depan anak-anak kita. Bunda, mari persiapkan diri kita untuk itu.

Hal pertama Bunda, tahukah dikau bahwa kesuksesan adalah cita-cita yang panjang dengan titik akhir di Negeri Abadi? Belumlah sukses jika anakmu menyandang gelar atau jabatan yang tertinggi, atau mengumpulkan kekayaan terbanyak. Belum Bunda, bahkan sebenarnya itu semua tak sepenting nilai ketaqwaan. Mungkin itu semua hanyalah jalan menuju ke Kesuksesan Sejati. Atau bahkan, bisa jadi, itu semua malah menjadi penghalang Kesuksesan Sejati.

Gusti Allah Yang Maha Mencipta Berkata dalam KitabNya:

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS 3:185)

Begitulah Bunda, hidup ini hanya kesenangan yang menipu, maka janganlah tertipu dengan tolok ukur yang semu. Pancangkanlah cita-cita untuk anak-anakmu di Negeri Abadi, ajarkanlah mereka tentang cita-cita ini. Bolehlah mereka memiliki beragam cita-cita dunia, namun janganlah sampai ada yang tak mau punya cita-cita Akhirat.

Kedua, setelah memancangkan cita-cita untuk anak-anakmu, maka cobalah memulai memahami anak-anakmu. Ada dua hal yang perlu kau amati:

Pertama, amati sifat-sifat khasnya masing-masing. Tidak ada dua manusia yang sama serupa seluruhnya. Tiap manusia unik. Pahami keunikan masing-masing, dan hormati keunikan pemberian Allah SWT.

Yang kedua, Bunda, fahami di tahap apa saat ini si anak berada. Allah SWT mengkodratkan segala sesuatu sesuai tahapan atau prosesnya.
Anak-anak yang merupakan amanah pada kita ini, juga dibesarkan dengan tahapan-tahapan.

Tahapan sebelum kelahirannya merupakan alam arwah. Di tahap ini kita mulai mendidiknya dengan kita sendiri menjalankan ibadah, amal ketaatan pada Allah dan juga dengan selalu menjaga hati dan badan kita secara prima. Itulah kebaikan-kebaikan dan pendidikan pertama kita pada buah hati kita.

Pendidikan anak dalam Islam, menurut Sahabat Ali bin Abitahalib ra, dapat dibagi menjadi 3 tahapan/ penggolongan usia:

  1. Tahap BERMAIN (“la-ibuhum”/ajaklah mereka bermain), dari lahir sampai kira-kira 7 tahun.
  2. Tahap PENANAMAN DISIPLIN (“addibuhum”/ajarilah mereka adab) dari kira-kira 7 tahun sampai 14 tahun.
  3. Tahap KEMITRAAN (“roofiquhum”/jadikanlah mereka sebagai sahabat) kira-kira mulai 14 tahun ke atas.

Ketiga tahapan pendidikan ini mempunyai karakteristik pendekatan yang berbeda sesuai dengan perkembangan kepribadian anak yang sehat. Begitulah kita coba memperlakukan mereka sesuai dengan sifat-sifatnya dan tahapan hidupnya.

Hal ketiga adalah memilih metode pendidikan. Setidaknya, dalam buku dua orang pemikir Islam, yaitu Muhammad Quthb (Manhaj Tarbiyah Islamiyah) dan Abdullah Nasih ’Ulwan (Tarbiyatul Aulad fil Islam), ada lima Metode Pendidikan dalam Islam.

Yang pertama adalah melalui Keteladanan atau Qudwah, yang kedua adalah dengan Pembiasaan atau Aadah, yang ketiga adalah melalui Pemberian Nasehat atau Mau’izhoh, yang keempat dengan melaksanakan Mekanisme Kontrol atau Mulahazhoh, sedangkan yang terakhir dan merupakan pengaman hasil pendidikan adalah Metode Pendidikan melalui Sistem sangsi atau Uqubah.

Bunda, jangan tinggalkan satu-pun dari ke lima metode tersebut, meskipun yang terpenting adalah Keteladanan (sebagai metode yang paling efektif).

Setelah bicara Metode, ke empat adalah Isi Pendidikan itu sendiri. Hal-hal apa saja yang perlu kita berikan kepada mereka, sebagai amanah dari Allah SWT.
Setidak-tidaknya ada 7 bidang. Ketujuh Bidang Tarbiyah Islamiyah tersebut adalah: (1) Pendidikan Keimanan (2) Pendidikan Akhlaq (3) Pendidikan Fikroh/ Pemikiran (4) Pendidikan Fisik (5) Pendidikan Sosial (6) Pendidikan Kejiwaan/ Kepribadian (7) Pendidikan Kejenisan
(sexual education). Hendaknya semua kita pelajari dan ajarkan kepada mereka.

Ke lima, kira-kira gambaran pribadi seperti apakah yang kita harapkan akan muncul pada diri anak-anak kita setelah hal-hal di atas kita lakukan? Mudah-mudahan seperti yang ada dalam sepuluh poin target pendidikan Islam ini:
Selamat aqidahnya, Benar ibadahnya, Kokoh akhlaqnya, Mempunyai kemampuan untuk mempunyai penghasilan, Jernih pemahamannya, Kuat jasmaninya, Dapat melawan hawa nafsunya sendiri, Teratur urusan-urusannya, Dapat menjaga waktu, Berguna bagi orang lain.

Insya Allah, Dia Akan Mengganjar kita dengan pahala terbaik, sesuai jerih payah kita, dan Semoga kita kelak bersama dikumpulkan di Negeri Abadi. Amin.
Wallahua’lam

era muslim

PENDIDIKAN ANAK MENURUT AL-QURAN Tafsir Surat Lukman (31) ayat 13-19

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لاِبْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لاَ تُشْرِكْ بِاللهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
وَوَصَّيْنَا اْلإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ& وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ& يَابُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَوَاتِ أَوْ فِي الأِرْضِ يَأْتِ بِهَا اللهُ إِنَّ اللهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ& يَابُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاَةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ اْلأُمُوْرِ &وَلاَ تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلاَ تَمْشِ فِي اْلأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ& وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ اْلأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ

Ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya pada waktu ia memberi pelajaran kepadanya, “Anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, karena sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar.” Kami memerintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada ibu-bapakmu. Hanya kepada-Kulah kembalimu. Jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, janganlah kamu mengikuti keduanya; pergaulilah keduanya di dunia dengan baik dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Luqman berkata, “Anakku, sesungguhnya jika ada suatu perbuatan seberat biji sawi dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (balasannya). Sesungguhnya Allah Mahalalus lagi Mahatahu. Anakku, dirikanlah shalat, suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang munggkar, serta bersabarlah atas apa saja yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan oleh Allah. Janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (QS Luqman [31]: 13-19).

Tafsir Ayat

Rangkaian beberapa ayat di atas berbicara tentang nasihat Luqman kepada putranya yang dimulai dari peringatan terhadap perbuatan syirik (ayat 13). Imam ash Shobuni1 menafsirkan lâ tusyrik billâh dengan menyatakan, “Jadilah orang yang berakal; jangan mempersekutukan Allah dengan apa pun, apakah itu manusia, patung, ataupun anak.” Beliau menafsirkan inna asy-syirka lazhulm[un] ‘azhîm dengan menyatakan, “Perbuatan syirik merupakan sesuatu yang buruk dan tindak kezhaliman yang nyata. Karena itu, siapa saja yang menyerupakan antara Khalik dengan makhluk, tanpa ragu-ragu, orang tersebut bisa dipastikan masuk ke dalam golongan manusia yang paling bodoh. Sebab, perbuatan syirik menjauhkan seseorang dari akal sehat dan hikmah sehingga pantas digolongkan ke dalam sifat zalim; bahkan pantas disetarakan dengan binatang.”

Sementara itu, Ibn Abbas2 menafsirkan lazhulm[un] ‘azhîm sebagai dosa besar yang kelak akan mendapatkan sanksi dari Allah.

Dua ayat berikutnya (14 dan 15) menjelaskan bahwa manusia diperintahkan untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya sebagai wujud rasa syukur atas pemeliharaan keduanya, terutama ibu. Dia telah mengandungnya sejak janin di dalam kandungan; setiap bertambah usia dan besar janin, semakin bertambah lemahlah dia dan semakin bertambah sulit pula (untuk bergerak). Demikian pula ketika melahirkan, seorang ibu dengan susah-payah mengeluarkan bayinya dari rahimnya. Setelah itu, ibu menyusui bayinya selama dua tahun. Ibn Jaza3 menafsirkan:
Ungkapan hamalathu ummuhu wahn[an] ‘alâ wahnin wa fishâluhu fî ‘âmayni adalah untuk menjelaskan bahwa hak ibu lebih besar daripada bapak. Akan tetapi, rasa syukur kepada Allah harus di atas segalanya. Sebab, kepada-Nya- lah tempat kembali seseorang, termasuk kedua orangtuanya. Allah-lah yang memberi balasan yang baik kepada orang yang berbuat baik dan balasan yang buruk kepada orang yang berbuat buruk. Karena itu, sekalipun keduanya telah bersusah-payah memeliharamu, kalau mereka mengajakmu pada kekufuran dan perbuatan syirik, janganlah kamu mengikutinya, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah. Hanya saja, sekalipun demikian, engkau tetap menggauli mereka dengan baik serta senantiasa berlaku sopan dan hormat kepada mereka.

Yang harus diikuti adalah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku dengan iman (tauhid), taat, dan amal shalih. Tempat kembali semua makhluk adalah Allah. Allahlah yang membalas segala perbuatan hamba-Nya. Kemudian, di akhir ayat dijelaskan tentang keluasan dan kelengkapan ilmu Allah sehingga Dia mengetahui apa saja yang telah dilakukan hamba-Nya. Penggambaran yang demikian membangkitkan wijdan (naluri beragama) yang ada pada diri manusia.

Ayat berikutnya (16, 17, 18, dan 19) kembali mengungkapkan nasihat Luqman kepada putranya. Luqman mengajarkan kepada putranya bahwa jika ada perbuatan (dosa dan maksiat) walau seberat dan sekecil biji sawi pun dan berada di tempat yang tersembunyi—di dalam batu, di langit, atau di bumi—kelak Allah akan mendatangkan balasannya pada Hari Kiamat. Sebab, Allah Mahahalus dan Mahatahu. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, bagaimanapun kecilnya, sehingga seekor semut yang melata di malam yang gelap-gulita pun tidak akan luput dari pengetahuan-Nya.4

Selanjutnya, Luqman mengajarkan kepada putranya tentang kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan kepada Allah. Kewajiban pertama: mendirikan shalat. Ibnu Katsir5 menafsirkan aqim ash- shalah dengan melaksanakannya tepat waktu dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan, syarat-syarat, dan rukun-rukunnya. Sedangkan ash-Shabuni menambahkan, yaitu dengan memelihara kekhusyukannya. Kewajiban kedua: amar makruf nahi mungkar, yakni memerintahkan kepada manusia untuk melakukan setiap kebaikan dan keutamaan serta melarang mereka dari setiap perbuatan buruk. Kewajiban ketiga: bersabar, yakni bersabar terhadap gangguan, rintangan, ujian, bahaya, dan bencana yang menimpa karena menjalankan amar makruf nahi mungkar. Ibn Abbas berkata, “Di antara hakakat iman adalah bersabar.”

Setelah pelaksanaan kewajiban, pengajaran Luqman yang berikutnya berupa larangan berakhlak buruk, yakni larangan berpaling dari manusia karena sombong dan menganggap rendah yang lain, serta larangan berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sebab, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri. Tentang sifat sombong yang tercela tersebut, Allah berfirman dalam surat al-Isra’ ayat 37:
وَلاَ تَمْشِ فِي اْلأَرْضِ مَرَحًا إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ اْلأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُول

Janganlah engkau berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya engkau sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan tidak akan dapat sampai setinggi gunung.(QS al-Isra’ [17]: 37).
Pengajaran selanjutnya adalah perintah berakhlak baik, yakni sederhana dalam berjalan; tidak terlampau cepat dan terburu-buru; tidak juga terlampau lambat dan bermalas-malasan; kemudian melunakkan suara (bila berbicara), tidak berteriak-teriak tanpa ada perlu, karena seburuk-buruk suara adalah suara kedelai. Al-Hasan6 berkata, “Dulu orang-orang musyrik membanggakan dirinya dengan bersuara tinggi.”

Qatadah7 berkata, “Seburuk-buruk suara adalah suara kedelai.”
Ibrah

Pelajaran yang bisa diambil dari rangkaian ayat di atas mencakup dua hal. Pertama, pelajaran bagi orangtua dalam mendidik anak-anaknya. Kedua, pelajaran kepada seorang anak dalam berbakti kepada orangtua.
Pelajaran bagi orang tua.

Pelajaran awal dan dasar yang harus ditanamkan oleh orangtua kepada anaknya adalah akidah. Di antaranya, pemahaman agar tidak mempersekutukan Allah dengan apa pun, karena perbuatan syirik merupakan sesuatu yang buruk dan merupakan tindak kezaliman yang nyata, bahkan termasuk dosa besar yang kelak pelakunya akan di azab oleh Allah pada Hari Kiamat. Hal ini seiring dengan sabda Nabi saw. yang diriwayatkan oleh al-Hakim dari Ibnu Abbas r.a.8
Bacakanlah kalimat pertama kepada anak-anak kalian kalimat Lâ ilâha illâ Allâh. (HR al-Hakim).
Berdasarkan hadis di atas, kalimat tauhid (Lâ ilâha illâ Allâh) merupakan sesuatu yang pertama masuk ke dalam pendengaran anak dan kalimat pertama yang dipahami anak. Hal ini seiring pula dengan anjuran azan di telinga kanan anak dan iqamah di telinga kirinya sesaat setelah kelahirannya di dunia ini.

Upaya menanamkan kalimat tauhid kepada anak dapat ditempuh dengan berbagai cara dan wasilah. Di antaranya mendengar, mengucapkan, dan menghapalkan kalimat-kalimat tauhid, ayat-ayat al-Quran, serta al-Hadis yang terkait dengannya; kemudian memahamkan maknanya serta menjelaskan berbagai jenis perbuatan syirik yang pernah dilakukan manusia, khususnya yang terjadi saat ini; selanjutnya menceritakan berbagai azab yang ditimpakan Allah kepada umat-umat terdahulu akibat perbuatan syirik mereka.

Penggunaan cara dan wasilah hendaknya disesuaikan dengan usia dan perkembangan anak. Hendaknya memilih cara yang memudahkan anak untuk mengingat dan memahami pelajaran yang hendak diberikan serta memilih wasilah yang disukai anak-anak agar mereka tidak merasa terpaksa menerima suatu pengajaran yang diberikan. Dengan begitu, pembelajaran akidah tauhid ini berjalan dengan lancar dan anak tidak merasa dibebani sesuatu. Contohnya adalah dengan cara memperdengarkan nyanyian yang di dalamnya terkandung pemahaman tauhid, membacakan ayat-ayat al-Quran maupun Hadis Nabi saw. yang menjelaskan pemahaman tauhid, serta mengajak anak untuk sama-sama melafalkannya bila anak sudah mampu berbicara. Oleh karena itu, menanamkan tauhid kepada anak tidak harus dalam suasana belajar, bisa dilakukan kapan saja; pada saat anak bermain, makan, ataupun ketika menidurkannya. Dengan demikian, para orangtua sangat dibutuhkan perannya untuk menanamkan pemahaman tauhid ini di sepanjang hari-hari dan aktivitas anak.

Pemahaman akidah berikutnya yang harus ditanamkan kepada anak adalah senantiasa bersyukur kepada Allah atas nikmat dan karunia yang telah diberikan-Nya kepada kita. Rasa syukur kepada Allah harus didahulukan dari rasa syukur kepada manusia, termasuk kepada kedua orangtua. Artinya, sekalipun orangtua sangat berjasa dalam memelihara dan mengasuh kita sejak dalam kandungan, rasa syukur kepada mereka tidak boleh mendahului rasa syukur kepada Allah. Sebab, tempat kembali semua makhluk hanyalah kepada Allah.

Upaya menancapkan rasa syukur kepada Allah bisa dilakukan dengan mengajak anak mengamati dan memikirkan karunia Allah yang diperoleh si anak, keluarganya, serta lingkungan sekitarnya. Di mulai dari hal yang paling sederhana dan mudah diamati sampai hal-hal yang membutuhkan pengamatan cermat.

Selanjutnya adalah menanamkan pemahaman tentang sifat-sifat Allah. Di antaranya Allah Mahakaya, Maha Terpuji, Mahatahu, dan Mahahalus; juga sifat-sifat lainnya yang tergolong dalam Asmâ’ al-Husnâ. Keyakinan terhadap sifat-sifat Allah akan menjadikan anak memiliki dorongan yang kuat untuk menaati segala perintah Allah.

Kekuatan akidah merupakan landasan untuk menaati semua perintah Allah berupa taklif hukum yang harus dijalankan sebagai konsekuensi keimanan. Oleh karena itu, perlu motivasi yang kuat, ketekunan yang sungguh-sungguh, serta kreativitas yang tinggi dari para orangtua terhadap upaya penanaman akidah yang kuat kepada anak. Dalam hal ini, harus ada penyesuaian bahasa (yang bisa dimengerti) anak, daya pikir (yang bisa dijangkau) anak, serta usia anak.

Gambaran ideal sosok seorang anak yang sangat taat kepada Allah adalah Nabi Ismail. Beliau di usia kira-kira 13 tahun9 rela disembelih ayahnya (Nabi Ibrahim) ketika ayahnya mengatakan bahwa Allah memerintahkannya untuk menyembelih Ismail. Kisah ini diabadikan dalam al-Quran surat ash-Shaffat ayat 102. Kisah Nabi Ibrahim dan anaknya juga memberikan gambaran kepada kita tentang keinginan yang kuat dari seorang ayah untuk memiliki seorang anak yang shalih sehingga beliau berdoa kepada Allah agar dianugerahi seorang anak yang shalih. Hal ini termaktub dalam al-Quran surat ash-Shaffat ayat 100.

Setelah penanaman akidah, pembelajaran berikutnya yang harus ditanamkan kepada anak adalah pelaksanaan berbagai taklif hukum. Di antaranya adalah shalat dan amar makruf nahi mungkar. Kewajiban pertama yang diajarkan dan diperintahkan kepada anak adalah kewajiban shalat, karena shalat merupakan tiang agama dan amal pertama yang akan dihisab pada Hari Kiamat nanti. Pada usia 7 tahun anak sudah harus diperintahkan menjalankan ibadah shalat, bahkan kalau sampai usia 10 tahun anak masih meninggalkan shalat, diperintahkan kepada orangtua untuk memukulnya. Al-Hakim dan Abu Dawud menuturkan riwayat dari Ibn Amr bin al -‘Ash. Disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Ajarilah anak kalian shalat pada usia tujuh tahun dan pukullah dia (jika tidak mau melaksanakannya) jika melewati usia sepuluh tahun. (HR ad-Darimi).
Perintah shalat ini dapat kita samakan dengan pelaksanaan kewajiban lain yang mampu dilaksanakan oleh anak seperti shaum, menutup aurat, amar makruf nahi mungkar, dan lain-lain; termasuk pergaulan antara laki-laki dan perempuan harus sudah terpisah pada saat usia mereka sepuluh tahun.

Berdasarkan hadis di atas, dapat digali pemahaman bahwa anak sudah seharusnya dilatih menjalankan kewajiban-kewajibannya sebagai seorang Muslim sejak usia 7 tahun. Anak diberi sanksi bila meninggalkan kewajiban-kewajibannya pada saat usianya sudah mencapai 10 tahun. Hal ini berarti masa pembiasaan anak melaksanakan kewajiban-kewajibannya, selama 3 tahun, sejak usia tujuh tahun sampai 10 tahun. Sedangkan usia 10 tahun sampai menjelang balig bisa dikatakan masa pemantapan, karena si anak tidak boleh lagi meninggalkan kewajiban-kewajibannya. Dengan demikian, seorang anak sudah dipersiapkan sejak awal agar pada usia balig siap menjalankan semua taklif yang dibebankan Allah kepadanya.

Pembelajaran selanjutnya yang harus ditanamkan kepada anak adalah akhlak mulia, yakni sifat-sifat mulia yang harus menghiasi kepribadian anak. Di antaranya sabar (atas segala ujian dan cobaan), tidak berlaku sombong terhadap sesama manusia, tidak bersikap angkuh, sederhana dalam berjalan, dan lunak dalam bersuara.

Penanaman sifat-sifat mulia ini tidak akan sulit bila seiring dengan proses anak dalam melatih ketaatannya terhadap perintah Allah, yakni melalui pembiasaan anak menjalankan berbagai perintah Allah yang menjadi kewajibannya kelak. Sebab, sifat-sifat mulia tersebut merupakan buah dari pelaksanaan syariat Allah.

Ada satu hal yang sangat penting didapatkan si anak dalam proses pembelajarannya menjalankan berbagai kewajiban serta menghiasi dirinya dengan sifat-sifat yang mulia, yakni keteladanan dari para orangtua maupun pendidik. Inilah yang saat ini jarang dan sulit didapatkan si anak. Bahkan, tidak jarang si anak melihat sesuatu yang bertentangan dengan pemahaman yang sedang ditanamkan kepadanya dilakukan oleh orang-orang di sekelilingnya, termasuk orangtua maupun para pendidik. Padahal, sudah merupakan tabiat manusia membutuhkan teladan, karena manusia lebih mudah menerima dan memahami apa yang dilihat dan dirasakannya daripada apa yang didengarnya. Karena itulah, kepada manusia diturunkan seorang Rasul di setiap generasi dari kalangannya sendiri (manusia juga), untuk mengajarkan dan mencontohkan pelaksanaan ajaran-Nya.

Oleh karena itu, para orangtua hendaklah mempersiapkan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan si anak agar proses pembelajarannya bisa berjalan efektif. Janganlah membiarkan lingkungan anak, khususnya lingkungan rumah, merobohkan bangunan kepribadian anak yang sedang dibangun, karena ini sangat berbahaya bagi perkembangan si anak untuk berproses menjadi anak yang shalih.

Apabila para orangtua dan para pendidik di era sekarang mendidik anak sejak awal dengan mengikuti proses seperti yang diuraikan di atas, tidak mustahil akan terwujud generasi baru seperti Nabi Ismail, yakni generasi yang taat kepada Allah; generasi yang rela mengorbankan nyawanya dalam rangka menjalankan perintah Allah. Bila generasi muda kaum Muslim berkualitas seperti ini, kemenangan dan kejayaan Islam, insya Allah, akan berada dalam genggaman.
Pelajaran bagi Anak

Allah memerintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya sebagai wujud rasa syukur atas pengorbanan keduanya dalam memelihara dan mengasuh si anak sejak dalam kandungan. Demikian pula pengorbanan ketika menyusui si anak selama dua tahun, terutama sang ibu. Karena itu, sekalipun kedua orangtuanya kafir, seorang anak tetap harus berbuat baik kepada keduanya. Hanya saja, seorang anak tidak boleh menaati keduanya dalam hal-hal yang melanggar perintah Allah, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah.

Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb

Selasa, 06 Juli 2010

Sejarah Yang Terlupakan

INDONESIA MEMPUNYAI 8 PRESIDEN


Selama ini kita mengenal bahwa Indonesia memiliki 6 Presiden, yaitu Soekarno, Soeharto, B.J. Habibie, K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, dan sekarang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun, menurut sejarah, sebenarnya Indonesia memiliki lebih dari 6 Presiden, tepatnya 8 Presiden. Tidak percaya? Coba perhatikan fakta-fakta berikut ini:

Pemerintahan Darurat RI

Pada 19 Desember 1948, saat Belanda melakukan agresi militer II dengan menyerang dan menguasai ibu kota RI saat itu di Yogyakarta, mereka berhasil menangkap dan menahan Presiden Soekarno, Moh. Hatta, serta para pemimpin Indonesia lainnya untuk kemudian diasingkan ke Pulau Bangka.

Kabar penangkapan terhadap Soekarno dan para pemimpin Indonesia itu terdengar oleh Sjafrudin Prawiranegara yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kemakmuran dan sedang berada di Bukittinggi, Sumatra Barat. Untuk mengisi kekosongan kekuasaan, Sjafrudin mengusulkan agar dibentuk pemerintahan darurat untuk meneruskan pemerintah RI, atau lebih dikenal dengan PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia).

Padahal, saat itu Soekarno - Hatta telah mengirimkan telegram yang berbunyi, "Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 djam 6 pagi Belanda telah mulai serangannja atas Ibu Kota Jogjakarta. Djika dalam keadaan pemerintah tidak dapat mendjalankan kewajibannja lagi, kami menguasakan kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra".

Sayang, telegram tersebut tidak sampai ke Bukittinggi. Meski demikian, ternyata pada saat bersamaan Sjafruddin Prawiranegara telah mengambil inisiatif yang senada. Dalam rapat di sebuah rumah dekat Ngarai Sianok Bukittinggi, 19 Desember 1948, ia mengusulkan pembentukan suatu pemerintah darurat (emergency government). Gubernur Sumatera Mr. T.M. Hasan menyetujui usul itu "demi menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang berada dalam bahaya, artinya kekosongan kepala pemerintahan, yang menjadi syarat internasional untuk diakui sebagai negara".

Pada 22 Desember 1948, di Halaban, sekitar 15 km dari Payakumbuh, PDRI "diproklamasikan" . Sjafruddin duduk sebagai ketua/presiden merangkap Menteri Pertahanan, Penerangan, dan Luar Negeri, ad. interim. Kabinatenya dibantu Mr. T.M. Hasan, Mr. S.M. Rasjid, Mr. Lukman Hakim, Ir. Mananti Sitompul, Ir. Indracahya, dan Marjono Danubroto. Adapun Jenderal Sudirman tetap sebagai Panglima Besar Angkatan Perang. Sjafruddin menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden Soekarno pada tanggal 13 Juli 1949 di Yogyakarta. Dengan demikian, berakhirlah riwayat PDRI yang selama kurang lebih delapan bulan melanjutkan eksistensi Republik Indonesia.

Republik Indonesia Serikat

Dalam perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) yang ditandatangani di Belanda, 27 Desember 1949 diputuskan bahwa Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS). RIS terdiri dari 16 negara bagian, salah satunya adalah Republik Indonesia. Negara bagian lainnya seperti Negara Pasundan, Negara Indonesia Timur, dan lain-lain. Karena Soekarno dan Moh. Hatta telah ditetapkan menjadi Presiden dan Perdana Menteri RIS, maka berarti terjadi kekosongan pimpinan pada Republik Indonesia.

Assaat adalah Pemangku Sementara Jabatan Presiden RI. Peran Assaat sangat penting. Kalau tidak ada RI saat itu, berarti ada kekosongan dalam sejarah Indonesia bahwa RI pernah menghilang dan kemudian muncul lagi. Namun, dengan mengakui keberadaan RI dalam RIS yang hanya beberapa bulan, tampak bahwa sejarah Republik Indonesia sejak tahun 1945 tidak pernah terputus sampai kini. Kita ketahui bahwa kemudian RIS melebur menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal 15 Agustus 1950. Itu berarti, Assaat pernah memangku jabatan Presiden RI sekitar sembilan bulan! Jadi, dari fakta tersebut bisa disimpulkan bahwa Indonesia memiliki 8 Presiden, bukannya 6 seperti yang kita sangka selama ini.

sumber: kaskus

Surat Mujahidah Palestina untuk Muslimah di Indonesia

Pasca kepulangan tim Relawan Komat yang berangkat ke Gaza, Palestina, beberapa waktu lalu, sebuah surat khusus dari mujahidah Palestina dititipkan melalui Relawan KOMAT Palestina, al-Ustadz Muhammad Ikhwan Abdul Jalil, Lc.

Surat tersebut berbahasa Arab yang kemudian diterjemahkan oleh Divisi Kajian Komat Palestina, ustadz Abul Miqdad Al-Madany. Berikut isi surat terbuka yang diperuntukkan kepada para muslimah di Indonesia ini.

Bismillahirrahmanirrahim
Saudari-saudariku para muslimah di Indonesia…
Aku sampaikan salam penghormatanku untuk kalian, salam penghormatan Islam yang agung:

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh,

Amma ba’du…

Kami adalah saudari-saudari muslimah kalian di Palestina. Kami tumbuh di medan ribath dan jihad. Dan kami selalu berusaha untuk berpegang teguh pada agama kami yang agung, serta mendidik anak-anak kami untuk itu. Karena berpegang teguh pada agama Islam adalah (satu-satunya) tali keselamatan, berdasarkan Firman Allah Ta’ala dalam Surah Ali Imran:

“Dan barang siapa yang menginginkan selain Islam sebagai agama, maka itu tidak akan diterima darinya, dan kelak di akhirat ia termasuk orang-orang yang merugi.”

Karena itu, kami selalu berusaha untuk komitmen dengan al-Qur’an dan keislaman kami. Dan seperti itu pula komitmen pemerintahan Islam kami untuk menumbuhkan sebuah generasi yang selalu menjaga al-Qur’an, serta melahirkan ribuan penghafal Kitabullah di setiap tahunnya.

Dari bumi Palestina,medan ribath ini, kami mengirimkan surat persaudaraan dari lubuk hati yang dipenuhi cinta kepada saudari-saudari kami di Indonesia. Melalui surat ini, kami haturkan rasa terima kasih kepada semuanya atas sikap dan dukungan mereka untuk anak-anak bangsa Palestina kami.

Melalui surat ini juga, kami mendorong mereka untuk selalu mentarbiyah (membina) anak-anak mereka dengan tarbiyah Islamiyah dan komitmen dengan Syariat Allah; karena dalam itu semua terdapat pembinaan terhadap ruh dan jiwa, serta keteladanan terhadap akhlak Rasul kita yang mulia Shallallahu ‘ALaihi wa Sallam dan para sahabatnya yang mulia. Perhatikanlah sahabat mulia, ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu ketika mengatakan:

“Janganlah seorang dari kalian meminta dari dirinya selain al-Qur’an. Sebab jika ia mencintai al-Qur’an dan mengaguminya, niscaya ia akan mencintai Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Namun jika membenci al-Qur’an, maka ia akan membenci Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”

Karena itu, siapakah di antara kita yang dapat menerima dirinya atau anak-anaknya menjadi orang yang benci kepada Allah dan Rasul-Nya yang kelak akan memberi syafaat kepada kita di hari kiamat?

Itulah sebabnya, saya membisikkan ke telinga saudara-saudara kami tercinta, kaum muslimin di manapun berada: “Kalian harus terus mempelajari dan menghafalkan al-Qur’an, serta berpegang teguh dengan ajaran-ajaran Islam. Sebab sesungguhnya siapapun yang menginginkan kemuliaan dengan Islam, niscaya Allah akan memuliakannya. Namun siapa yang mencari kemuliaan dengan selain Islam, niscaya Allah akan menghinakannya.”

Semoga Allah selalu memberikan taufiq-Nya untuk kalian untuk mengikuti apa saja yang dicintai dan diridhai-Nya.

Saudari-saudarimu, para muslimah yang sedang berjihad di bumi Palestina
Gaza, 29/6/2010.
(mnh)

di salin dari Era Muslim

Senin, 05 Juli 2010

Bukti WTC 911 Sebuah Rekayasa

Inilah bukti bahwa peristiwa WTC 911 adalah salah satu rekayasa hebat yang dilakukan US dan Yahudi untuk menghancurkan Islam dan menyematkan gelar Teroris kepada Umat islam, begitupun Doktrin Terorispun di Negara kitapun menjadi kata keseharian.

Mengapa hanya Islam yang dibilang Teroris?.

Antara Nafsu Dunia dan Kemuliaan Akhirat

Dua alam ciptaan Allah, alam dunia dan alam akhirat, mutlak berbeda dalam karakteristik dan esensi wujudnya. Walaupun begitu setiap manusia pasti memasuki dan bergumul di dalamnya. Tak seorang pun dapat menghindar dari keberadaan di dalam alam dunia dan alam akhirat.

Oleh karena kedua alam, baik secara realitas sejatinya ataupun karakteristiknya berbeda, setiap manusia diberikan potensi untuk dapat menyempurnakan eksistensi dirinya di dalam kedua alam tersebut sehingga dapat meraih puncak kesempurnaannya. Meskipun pada kenyataannya sebagian besar manusia justru mengalami kegagalan sebelum merealisasikan kesempurnaannya secara utuh..

Alam dunia, dengan segala watak dan karakteristiknya, adalah sebuah perjalanan sedangkan alam akhirat adalah persinggahan terakhir kita, kampung halaman, dan rumah kita yang abadi.

Oleh karena itu meskipun kita dilahirkan di dunia, dan dunia menjadi tempat tinggal kita sekarang ini, namun realitas sejatinya, setidak-tidaknya secara spiritual, sedang berjalan jauh menuju tempat kembali hakiki kita, alam keabadian, alam akhirat. Di sanalah kita akan dihadapkan kepada berbagai peristiwa eskatologis yang belum pernah kita jumpai selama hayat kita.

Di tempat kembali itu masing-masing individu benar-benar akan merasakan sebagai makhluk moral yang harus mempertanggungjawabkan seluruh sepak terjang kita selama di dunia.

Di sana pula akan terbukti jati diri kita yang sebenarnya, menjadi individu yang sejatinya terhormat mencapai kebaikan tertinggi atau bahkan menjadi hina dina terjerembab ke dalam lumpur keburukan.

Allah Swt telah menunjuki manusia jalan agar dapat mencapai tempatnya yang layak dalam penciptaan, di surga-Nya. Sebagai manusia bahkan kita diperintahkan agar menempuh jalan-Nya meskipun harus berjalan mendaki lagi sukar.

Tidak sepatutnya di dunia yang fana ini menjadi tumpuan hidup. Tidak sepatutnya pula kita bermegah-megah karena tunduk kepada pesonanya dan tidak menjadikannya sebagai medan perjuangan untuk menghimpun aset untuk kembali ke rumah asalnya. ”Maka tidakkah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar?” (QS, al-Balad [90]: 11).

Bukan harta yang akan menjadi aset kehidupan akhirat kita. Bisa jadi harta menjadi simbol kemuliaan dunia. Akan tetapi di balik simbol itu ada nilai tanggungjawab moral yang harus ditunaikan.

Dalam satu riwayat dikatakan, Nabi Muhammad Saw bersabda, “Kemuliaan umur dan waktu lebih bernilai dibandingkan dengan kemuliaan harta.” Bahkan harta bisa memperbudak orang yang mencintainya. Orang yang menjadikan kekayaan harta benda sebagai standar keagungan seseorang akan membenci kematian.

Padahal kematian itu adalah pintu pertemuan dengan Allah Swt yang pasti akan diketuk oleh setiap manusia. Bahkan karena cintanya kepada harta ia tidak rela berpisah darinya.

Oleh sebab itu orang-orang berakal mencela dan merendahkan orang yang serakah dalam mengumpulkan harta. Sebaliknya mereka sepakat untuk mengagungkan orang yang bersikap zuhud terhadap harta, tidak mau menumpuk-numpuknya, dan tidak menjadikan dirinya sebagai budak harta.

Meski demikian, harta selalu menjadi perburuan demi mendapatkan kemudahan, keberhasilan, kesuksesan, serta mencapai kemuliaan dalam hidup ini. Di zaman sekarang ini mengejar kekayaan dan meraih kekuasaan materi, seolah telah menjadi mindset dan orientasi hidup, sehingga seringkali untuk mendapatkannya orang tidak peduli lagi memikirkan cara yang benar atau tidak, layak atau tidak layak dengan status sosial dan kemanusiaannya.

Padahal Allah menjelaskan bahwa amal salih kitalah aset sejati bagi kehidupan di akhirat nanti. Amal shalih pula yang menjadi kendaraan perjalanan jauh kita menuju haribaan-Nya. Setiap perjalanan, lebih-lebih perjalanan jauh dan menentukan, memerlukan kendaraan dan bekal.

Oleh sebab hakikat hidup di dunia adalah sebuah perjalanan jauh menuju alam akhirat dan medan perjuangan meraih kebahagiaan sejati, maka kita harus mampu melintasi segala rintangan yang mungkin terhampar di tengah jalan.

Rasulullah Saw mengingatkan, ”Jalan menuju surga itu dipenuhi dengan hal-hal yang tidak diisukai, sedangkan jalan menuju neraka dipenuhi dengan berbagai kenikmatan syahwati.” (HR, Muslim)

dikutip dari era muslim